WARNING: Ini kecenderungannya pemikiran yang mind-fcuk banget. Ndak disarankan untuk membacanya apalagi pakai sekip sekip. Kalaupun nekat baca, please tarik nafas dulu supaya gak jadi htrz ndak penting. Ini 15 minutes read, lumayan panjang dan buat ngantok. As title: I don’t give a fcuk, ini di baca atau ndak. Hehe mulai-de, mulai deh.. 🙂
…
Ok, let me tell you a story first..
Once saya diajak sharing di salah satu Area. Saya menjadi NaraZoomer waktu itu untuk berbicara terkait hacking didunia kerja. NaraZoomers ini NaraSumber yang pakai Zoom. *halah.. kok dijelaskan..
Saya mulai dengan slide yang ngasih gambar buku ‘Rhonda Byrne‘ dan bukunya ‘Mark Manson‘. See pictures.
Terus kalimat saya sengaja nabrakkan pemikiran Nyonya Byrne The Secret dengan pemikiran Tn. Manson terkait “positivity” dan “negativity”. Yes, saya strike to the point kenapa hukum tarik-menarik dibuku the secret harusnya punya pemikiran lain. Bukan saya ndak percaya kalimat magis the secret terkait pemikiran positive guys. Saya juga penganut ‘we become what we think’ tapi ini POV yang berbeda. Ngelengkapi cara berfikir kita.
Singkatnya, ketika saya bilang “It is okay to feel negativity” dan setelahnya saya imbuhkan kalimat yang provokatif “Nah, yang hari ini terjadi semua orang memaksakan untuk berfikiran positive padahal at some points ini terkadang ndak menjawab keresahan”.
Ndak lama setelah saya ngomong “ndak papa banget jadi negatif“, saya perhatikan di inset video sang moderator pada saat itu kayaknya agak panik dan berusaha mengalihkan topik. Sehingga saya ndak jadi meneruskan point yang mau saya angkat.
Haha, saya fikir fine lah, ndak salah moderatornya, karena belum tentu semua pesertanya siap kali yah nerima pemikiran nyeleneh. Pemikiran untuk membiarkan negativity terlalu radikal mungkin dirasa moderatornya. Next time saya akan sharing ke mereka kalau mereka udah siap saja.
Nah, sekarang yang membaca sampai paragraph ini pasti galau, ngerasa mau dibawa kemana tulisan ini sama bang Abie. Apaan sih bicaranya kok malah harus memelihara negativity. Bukannya kita harusnya terus berfikir positive? “Hehe, I told you already this is mind-fcuk“, kalau ndak kuat ndak papa banget ndak dibaca. Feel free to leave. Believe meh, ndak ada kebahagiaanmu yang akan berkurang..
…
Oke yang mau lanjut silahkan disimak. Kalau sudah baca bukunya pasti faham kalimat berikut, saya mulai dengan pemikiran ini:
“The desire for more positive experience is itself a negative experience. And, paradoxically, the acceptance of one’s negative experience is itself a positive experience.”
Kalau ditranslatekan membabibuta kira-kira kayak gini:
“Keinginan untuk pengalaman yang lebih positif itu sendiri merupakan pengalaman negatif. Dan, secara paradoks, penerimaan pengalaman negatif itu sendiri malah merupakan pengalaman yang positif.”
Kalau saya perhatikan ada 48.027 orang guys, termasuk saya, meng-hilite hal yang sama di Kindle (eBook). Soalnya, memang paradoks. Membius sungguh tapi bener, infuse logikanya sulit dipatahkan. Sampai sini, kalau belum dapet esensinya please dibaca berulang-ulang dulu kalimat di atas. Jangan buru-buru melanjutkan, saran saya.
Yes, I do give a fcuk to his words
Sekarang, Saya coba tuliskan 3 hal, yang saya coba tangkap dari logical framing nya Mark Manson.
… PERTAMA, The Backwards Law.
Kita coba fahami ini: our culture today is obsessively focused on unrealistically positive expectation. Banyak kalimat positif yang berseliweran yang ndak realistis menurut Tn. Manson. Kalimatnya kira-kira kayak gini: Be happier, Be healthier, Be the best, Better than the rest. Kemudian kalimat bagus Be richer, Be smarter, Be faster, sexier, get more popular, dan seterusnya. Menurut Tn. Manson kalimat ini adalah kalimat yang ngawang-ngawang. Ini positivity yang dipaksakan.
Penjelasannya kayak gini: kecenderungan untuk mencoba kaya dan mencari uang sebanyaknya karena kita fikir kita ndak punya uang. Yes, you feel that you don’t have enough money already. Berdiri didepan cermin dan berusaha mengafirmatif kalau kita cantik karena, again, you feel as though you ain’t beautiful already. Padahal ndak papa banget kita itu ndak kaya. Ndak papa banget juga kalau kita itu ndak cantik atau ndak tampan. Peduli amat. Ya, ya, bodo amat lah.
Yes, such an irony!
Haha, itu ironisnya kata Tn. Manson. Jadi kebayangkan ya guys kenapa buku ini membuat fikiran saya jadi ngambang bin bimbang ketika selesai membacanya.
Coba cerna kalimat “be richer” atau “be good looking”. Ini unconscious statement yang mem-fiksasi untuk menjadi yang bukan jati diri kita. Membuat kita jadi ndak authentic. Berusaha keras menolak kenyataan yang ada, dan ini malah jatuhnya jadi palsu. Malah jadinya beban dan ngebuat kefikiran terus. Yang endingnya bisa ketebak, kita jadi susah bahagia karena kita ndak menerima diri kita apa adanya.
Itu guys, mungkin sampai sini sudah mulai jelas ya kemana Mark Manson ngegiring critical thingking-nya.
Kemudian coba perhatikan kalimat berikut guys. Kalimat Tn. Manson berikut walau ndak baru tapi bagus bahasanya menurut saya. Coba membuyarkan pemahaman umum (and yeah rite, though it still ironic).
“When we force ourselves to stay positive at all times, we deny the existence of our life’s problems. And when we deny our problems, we rob ourselves of the chance to solve them and generate happiness.”
Nah kan guys, jika memaksakan diri bersikap positif malah menyangkal adanya masalah. Malah jadi hilang kesempatan untuk menyelesaikannya dan menciptakan kebahagiaan. Hehe, sampai sini mulai ngoyak-ngoyak pemikiran kita kan yah. Iya, BGSD memang Tn. Manson ini..
In a nutshell, negatif harusnya ndak usah dikhawatirkan. Ndak usah dikasih prasangka berlebihan. Dikasih stigma ndak penting. Justru negativity ini yang buat kita orisinal, buat kita jadi mampu growth untuk perbaikan. And as Alan Watts mentioned before, pada akhirnya ‘memeluk negativity’ ini malah jadi suatu hal yang positif.
Sampai sini guys, saya jadi faham, kenapa orang yang tampan atau cantik jadi lebih insecure dan orang yang kaya banyak yang ndak bahagia. Karena mencari paripurna yang memang utopis banget untuk didapet. Aha, kalau ada yang bilang “bersyukur” aja bang Abie, saya amini untuk itu.
… KEDUA, Not Giving A Fuck to Everything.
Kalau disimpulkan. “Not giving a fcuk to everything” atau “bersikap bodo amat” ini lebih jauh oleh Tn. Manson dijabarkan dalam 3 buah seni. Dan ini better dibaca dua kali setiap pointnya supaya faham. Berikut guys:
1. Bersikap masa bodoh bukan berarti kita menjadi acuh tak acuh. Bersikap masa bodoh berarti nyaman saat menjadi berbeda dan menikmatinya hingga jadi ndak kefikiran. Ndak harus terbebani harus menjadi orang lain.
2. Supaya bisa mengatakan bodo amat pada kesulitan, pertama kita harus peduli terhadap sesuatu yang jauh lebih penting dari kesulitan itu. Singkatnya, ndak usah perduli sama hal-hal yang sepele, carilah hal yang lebih penting dihidupmu.
3. Kita sering ndak sadar, kita biasanya memilih suatu hal untuk diperhatikan dan ini akan terus membaik mengikuti tingkat kedewasaan kita.
Nah, sarannya adalah “not giving a fcuk to everything but you must give a fcuk for something“. Pertanyaan sejatinya adalah: what do we give a fcuk about? Kita pedulinya kemana atau kesiapa atau ke-apa? Ini yang harus jadi powerfull kalau disadari.
Satu lagi yang saya suka idenya: “Kita Itu Gak Spesial-Spesial Banget”. Pemikiran ini menyadarkan bahwa kita harus terima kenyataan dengan menanamkan keyakinan pada orang kalau mereka istimewa ndak lantas semua orang akan menjadi Bill Gates atau Martin Luther King misalnya. Dus, ini bahayanya malah akan jadi tampilan kepercayan diri level delusional. Halu jadinya semua orang. Ambyar kan yah.
Kenyataanya lagi. Meyakinkan diri sebagai mahluk spesial kadang jadi strategi yang gagal. Lantaran ini sadar ndak sadar membuat kita tinggi hati dan ndak happy. *halah berima.. Makanya delusi tingkat tinggi dikombinasikan dengan tinggi hati, then now you know what I mean..
… KETIGA, Negasi atau Ingkaran.
Apa yang dibilang Tn. Mark Manson, pengarang buku The Subtle Art of Not Giving A Fuck, ini adalah tentang negasi (ingkaran) yang menurut saya otentik banget. Suatu pemikiran yang somehow kurang ajar tapi apa adanya. Kuat sekali argumentum yang diberikan. Pemikiran yang sangat bebas tentang menjalani hidup dan pekerjaan.
Mark Manson yang menuliskan opininya dengan jujur, apa adanya, lugas tapi terstruktur ini membuat kita menyadari diri bahwa kita tak sempurna dan ada batasan yang seharusnya bisa kita terima. Dan, sebaiknya kita menerima itu semua, mengakrabinya, berhenti untuk lari dan mulai menemukan nyali dan rasa percaya diri hingga terwujud apa yang kita cari. (Eh, ini kok sajaknya jadi a-a-a-a ya? Hehe..)
Kalau baca kata penganternya dan mencermati diksi yang dipakai kelihatan seolah-olah Tn. Manson lagi marah, perhatikanlah kalimatnya berasa sarkas banget. Ndak hanya ngelus ego kita tapi memporak porandakan “fix mindset” kita. Yaps, dia ngajarin untuk “be authentic” dan mengajarkan “be yourself”. Menerima negativity spenuhnya malah ndak papa menurut dia.
Again, bagaimanapun cara berceritanya, guys. Atau apapun cara pandangnya. Buku ini sangat menarik untuk jadi insight yang membumi. Mengkatarsis kebiasaan yang terkadang dipelintir memjadi dogma. Dan saya sangat sarankan, please merdekakan fikiran sebelum membaca buku ini.
…
Last words from meh, gess..
Banyak hal yang menarik sebenernya untuk disharing, tapi nantilah kalau sempat saya tuliskan lagi. Kalau sempat ya. Gosah ditagih. Terus lagi, saya jadi faham kenapa buku ini selama berbulan-bulan nangkring sebagai “best buy” di chartnya Amazon (kindle or paperback).
Walau, saya akui kalau Aristotle Framing yang dibawa gak semuanya baru, tapi cara menceritakannya yang berbeda menurut saya. Yes, kita dapet lensa baru lah minmalnya.
Pesan Tn. Manson terakhir, hiduplah dengan apa adanya tanpa perlu terlalu peduli pada hal yang seharusnya ndak perlu dipedulikan. Karena berprinsip bodo amat itu sesungguhnya menyenangkan dan bermanfaat, ending yang diharap adalah bahagia. Klise memang, tapi selesai membaca buku 224 halaman ini (paperback) saya ndak berani sanggah. Hahaha..
OIYA, TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA SAMPAI BAWAH SINI..
Btw, taon 2017 kemarin saya ngebaca buku ini bingung. Alhamdulillah, setelah 3 taon dan sudah ngebacanya 3 kali saya makin bingung #lho. My point is, ndak papa ngerasa bingung, soalnya ada saya kawannya. Cheers.
Penuh Hormat,
Abdi J. Putra – @abepoetra
*Semangat pagi jiwa-jiwa merdeka dimanapun kalian berada..
*Inget satu hal, kalau galau jangan lupa ucapkan “Tarik sis, semongko..” Semangat!