Sharing

REVIEW: THE SUBTLE ART OF NOT GIVING A FCUK (MARK MANSON)

WARNING: Ini kecenderungannya pemikiran yang mind-fcuk banget. Ndak disarankan untuk membacanya apalagi pakai sekip sekip. Kalaupun nekat baca, please tarik nafas dulu supaya gak jadi htrz ndak penting. Ini 15 minutes read, lumayan panjang dan buat ngantok. As title: I don’t give a fcuk, ini di baca atau ndak. Hehe mulai-de, mulai deh.. 🙂

Ok, let me tell you a story first..

Once saya diajak sharing di salah satu Area. Saya menjadi NaraZoomer waktu itu untuk berbicara terkait hacking didunia kerja. NaraZoomers ini NaraSumber yang pakai Zoom. *halah.. kok dijelaskan..

Saya mulai dengan slide yang ngasih gambar buku ‘Rhonda Byrne‘ dan bukunya ‘Mark Manson‘. See pictures. 

Terus kalimat saya sengaja nabrakkan pemikiran Nyonya Byrne The Secret dengan pemikiran Tn. Manson terkait “positivity” dan “negativity”. Yes, saya strike to the point kenapa hukum tarik-menarik dibuku the secret harusnya punya pemikiran lain. Bukan saya ndak percaya kalimat magis the secret terkait pemikiran positive guys. Saya juga penganut ‘we become what we think’ tapi ini POV yang berbeda. Ngelengkapi cara berfikir kita.

Singkatnya, ketika saya bilang “It is okay to feel negativity” dan setelahnya saya imbuhkan kalimat yang provokatif “Nah, yang hari ini terjadi semua orang memaksakan untuk berfikiran positive padahal at some points ini terkadang ndak menjawab keresahan”

Ndak lama setelah saya ngomong “ndak papa banget jadi negatif“, saya perhatikan di inset video sang moderator pada saat itu kayaknya agak panik dan berusaha mengalihkan topik. Sehingga saya ndak jadi meneruskan point yang mau saya angkat.

Haha, saya fikir fine lah, ndak salah moderatornya, karena belum tentu semua pesertanya siap kali yah nerima pemikiran nyeleneh. Pemikiran untuk membiarkan negativity terlalu radikal mungkin dirasa moderatornya. Next time saya akan sharing ke mereka kalau mereka udah siap saja.

Nah, sekarang yang membaca sampai paragraph ini pasti galau, ngerasa mau dibawa kemana tulisan ini sama bang Abie. Apaan sih bicaranya kok malah harus memelihara negativity. Bukannya kita harusnya terus berfikir positive? “Hehe, I told you already this is mind-fcuk“, kalau ndak kuat ndak papa banget ndak dibaca. Feel free to leave. Believe meh, ndak ada kebahagiaanmu yang akan berkurang.. 😉

Oke yang mau lanjut silahkan disimak. Kalau sudah baca bukunya pasti faham kalimat berikut, saya mulai dengan pemikiran ini:

“The desire for more positive experience is itself a negative experience. And, paradoxically, the acceptance of one’s negative experience is itself a positive experience.”

Kalau ditranslatekan membabibuta kira-kira kayak gini:

“Keinginan untuk pengalaman yang lebih positif itu sendiri merupakan pengalaman negatif. Dan, secara paradoks, penerimaan pengalaman negatif itu sendiri malah merupakan pengalaman yang positif.”

Kalau saya perhatikan ada 48.027 orang guys, termasuk saya, meng-hilite hal yang sama di Kindle (eBook). Soalnya, memang paradoks. Membius sungguh tapi bener, infuse logikanya sulit dipatahkan. Sampai sini, kalau belum dapet esensinya please dibaca berulang-ulang dulu kalimat di atas. Jangan buru-buru melanjutkan, saran saya.

Yes, I do give a fcuk to his words 😂

Sekarang, Saya coba tuliskan 3 hal, yang saya coba tangkap dari logical framing nya Mark Manson.

… PERTAMA, The Backwards Law.  

Kita coba fahami ini: our culture today is obsessively focused on unrealistically positive expectation. Banyak kalimat positif yang berseliweran yang ndak realistis menurut Tn. Manson. Kalimatnya kira-kira kayak gini: Be happier, Be healthier, Be the best, Better than the rest. Kemudian kalimat bagus Be richer, Be smarter, Be faster, sexier, get more popular, dan seterusnya. Menurut Tn. Manson kalimat ini adalah kalimat yang ngawang-ngawang. Ini positivity yang dipaksakan.

Penjelasannya kayak gini: kecenderungan untuk mencoba kaya dan mencari uang sebanyaknya karena kita fikir kita ndak punya uang. Yes, you feel that you don’t have enough money already. Berdiri didepan cermin dan berusaha mengafirmatif kalau kita cantik karena, again, you feel as though you ain’t beautiful already. Padahal ndak papa banget kita itu ndak kaya. Ndak papa banget juga kalau kita itu ndak cantik atau ndak tampan. Peduli amat. Ya, ya, bodo amat lah.

Yes, such an irony!

Haha, itu ironisnya kata Tn. Manson. Jadi kebayangkan ya guys kenapa buku ini membuat fikiran saya jadi ngambang bin bimbang ketika selesai membacanya. 

Coba cerna kalimat “be richer” atau “be good looking”. Ini unconscious statement yang mem-fiksasi untuk menjadi yang bukan jati diri kita. Membuat kita jadi ndak authentic. Berusaha keras menolak kenyataan yang ada, dan ini malah jatuhnya jadi palsu. Malah jadinya beban dan ngebuat kefikiran terus. Yang endingnya bisa ketebak, kita jadi susah bahagia karena kita ndak menerima diri kita apa adanya. 

Itu guys, mungkin sampai sini sudah mulai jelas ya kemana Mark Manson ngegiring critical thingking-nya. 😃

Kemudian coba perhatikan kalimat berikut guys. Kalimat Tn. Manson berikut walau ndak baru tapi bagus bahasanya menurut saya. Coba membuyarkan pemahaman umum (and yeah rite, though it still ironic).

“When we force ourselves to stay positive at all times, we deny the existence of our life’s problems. And when we deny our problems, we rob ourselves of the chance to solve them and generate happiness.”

Nah kan guys, jika memaksakan diri bersikap positif malah menyangkal adanya masalah. Malah jadi hilang kesempatan untuk menyelesaikannya dan menciptakan kebahagiaan. Hehe, sampai sini mulai ngoyak-ngoyak pemikiran kita kan yah. Iya, BGSD memang Tn. Manson ini..✌️😂

In a nutshell, negatif harusnya ndak usah dikhawatirkan. Ndak usah dikasih prasangka berlebihan. Dikasih stigma ndak penting. Justru negativity ini yang buat kita orisinal, buat kita jadi mampu growth untuk perbaikan. And as Alan Watts mentioned before, pada akhirnya ‘memeluk negativity’ ini malah jadi suatu hal yang positif.

Sampai sini guys, saya jadi faham, kenapa orang yang tampan atau cantik jadi lebih insecure dan orang yang kaya banyak yang ndak bahagia. Karena mencari paripurna yang memang utopis banget untuk didapet. Aha, kalau ada yang bilang “bersyukur” aja bang Abie, saya amini untuk itu.

… KEDUA, Not Giving A Fuck to Everything.

Kalau disimpulkan. “Not giving a fcuk to everything” atau “bersikap bodo amat” ini lebih jauh oleh Tn. Manson dijabarkan dalam 3 buah seni. Dan ini better dibaca dua kali setiap pointnya supaya faham. Berikut guys: 

1. Bersikap masa bodoh bukan berarti kita menjadi acuh tak acuh. Bersikap masa bodoh berarti nyaman saat menjadi berbeda dan menikmatinya hingga jadi ndak kefikiran. Ndak harus terbebani harus menjadi orang lain.

2. Supaya bisa mengatakan bodo amat pada kesulitan, pertama kita harus peduli terhadap sesuatu yang jauh lebih penting dari kesulitan itu. Singkatnya, ndak usah perduli sama hal-hal yang sepele, carilah hal yang lebih penting dihidupmu.

3. Kita sering ndak sadar, kita biasanya memilih suatu hal untuk diperhatikan dan ini akan terus membaik mengikuti tingkat kedewasaan kita.

Nah, sarannya adalah “not giving a fcuk to everything but you must give a fcuk for something“. Pertanyaan sejatinya adalah: what do we give a fcuk about? Kita pedulinya kemana atau kesiapa atau ke-apa? Ini yang harus jadi powerfull kalau disadari.

Satu lagi yang saya suka idenya: “Kita Itu Gak Spesial-Spesial Banget”. Pemikiran ini menyadarkan bahwa kita harus terima kenyataan dengan menanamkan keyakinan pada orang kalau mereka istimewa ndak lantas semua orang akan menjadi Bill Gates atau Martin Luther King misalnya. Dus, ini bahayanya malah akan jadi tampilan kepercayan diri level delusional. Halu jadinya semua orang. Ambyar kan yah.

Kenyataanya lagi. Meyakinkan diri sebagai mahluk spesial kadang jadi strategi yang gagal. Lantaran ini sadar ndak sadar membuat kita tinggi hati dan ndak happy. *halah berima.. Makanya delusi tingkat tinggi dikombinasikan dengan tinggi hati, then now you know what I mean..

… KETIGA, Negasi atau Ingkaran.

Apa yang dibilang Tn. Mark Manson, pengarang buku The Subtle Art of Not Giving A Fuck, ini adalah tentang negasi (ingkaran) yang menurut saya otentik banget. Suatu pemikiran yang somehow kurang ajar tapi apa adanya. Kuat sekali argumentum yang diberikan. Pemikiran yang sangat bebas tentang menjalani hidup dan pekerjaan.

Mark Manson yang menuliskan opininya dengan jujur, apa adanya, lugas tapi terstruktur ini membuat kita menyadari diri bahwa kita tak sempurna dan ada batasan yang seharusnya bisa kita terima. Dan, sebaiknya kita menerima itu semua, mengakrabinya, berhenti untuk lari dan mulai menemukan nyali dan rasa percaya diri hingga terwujud apa yang kita cari. (Eh, ini kok sajaknya jadi a-a-a-a ya? Hehe..)

Kalau baca kata penganternya dan mencermati diksi yang dipakai kelihatan seolah-olah Tn. Manson lagi marah, perhatikanlah kalimatnya berasa sarkas banget. Ndak hanya ngelus ego kita tapi memporak porandakan “fix mindset” kita. Yaps, dia ngajarin untuk “be authentic” dan mengajarkan “be yourself”. Menerima negativity spenuhnya malah ndak papa menurut dia.

Again, bagaimanapun cara berceritanya, guys. Atau apapun cara pandangnya. Buku ini sangat menarik untuk jadi insight yang membumi. Mengkatarsis kebiasaan yang terkadang dipelintir memjadi dogma. Dan saya sangat sarankan, please merdekakan fikiran sebelum membaca buku ini. 

Last words from meh, gess..

Banyak hal yang menarik sebenernya untuk disharing, tapi nantilah kalau sempat saya tuliskan lagi. Kalau sempat ya. Gosah ditagih. Terus lagi, saya jadi faham kenapa buku ini selama berbulan-bulan nangkring sebagai “best buy” di chartnya Amazon (kindle or paperback). 

Walau, saya akui kalau Aristotle Framing yang dibawa gak semuanya baru, tapi cara menceritakannya yang berbeda menurut saya. Yes, kita dapet lensa baru lah minmalnya. 😉

Pesan Tn. Manson terakhir, hiduplah dengan apa adanya tanpa perlu terlalu peduli pada hal yang seharusnya ndak perlu dipedulikan. Karena berprinsip bodo amat itu sesungguhnya menyenangkan dan bermanfaat, ending yang diharap adalah bahagia. Klise memang, tapi selesai membaca buku 224 halaman ini (paperback) saya ndak berani sanggah. Hahaha..

OIYA, TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA SAMPAI BAWAH SINI.. 🙏😍

Btw, taon 2017 kemarin saya ngebaca buku ini bingung. Alhamdulillah, setelah 3 taon dan sudah ngebacanya 3 kali saya makin bingung #lho. My point is, ndak papa ngerasa bingung, soalnya ada saya kawannya. Cheers.

Penuh Hormat,

Abdi J. Putra – @abepoetra
*Semangat pagi jiwa-jiwa merdeka dimanapun kalian berada..
*Inget satu hal, kalau galau jangan lupa ucapkan “Tarik sis, semongko..” Semangat! 

At work · books · cerita kuh

Nyaman Itu (Bukan) Jebakan

Kalimat yang sering kita dengar adalah berikut:

NYAMAN ITU JEBAKAN

Saya, hentah napa, ndak begitu setuju sama kalimat ini gais. Walau, yah walau at some points ini true tudemaks. Bener bangets terkadang. Oke, let me explain napa saya ndak setuju. Ini bukan mindf*ck ya, ini ngajak mikir nyerong aja wkwkw..

Oke, jadi gini. Pertanyaan yang sering menggelayut (ndak pakai “manja”, halah) terkait kalimat “nyaman adalah jebakan”, difikiran saya adalah ini: “BUKANKAH semua apa yang kita lakukan harusnya berujung di kata ‘nyaman’? BUKANKAH memang ‘nyaman’ yang selalu dituju?”

Nah, kalau memang ‘nyaman’ jadi tujuan, lantas ‘si-nyaman’ ini salah apa sehingga dia dihindari dan jadi berkesan kalimat negatif belakangan ini. Soalnya banyak orang bilang ‘jangan sampai terlalu nyaman’. Apakah si nyaman ini mematikan? Apakah dia ini sungguh sedemikian berbahayanya kah?

___ 4 premis terkait ‘nyaman’

Well, saya merasa harusnya gak papa banget merasa nyaman. Dan itu kenapa saya merasa kata ini harusnya jadi netral. Kenapa harus netral, btw, saya punya 4 (empat) premis untuk nyaman ini:

PERTAMA. Yes, apapun yang kita kerjakan itu nujunya ke kata ‘nyaman’. Jadi menurut saya ya ndak papa bangets merasa nyaman dikondisi apapun hari ini. Imho ini lho yah. 
Katakanlah kondisinya begini: Kalian lagi dapet kerjaan seabrek-abrek dikantor, plus istri & anak-anak dirumah diwaktu yang sama demanding nuntut minta waktu lebih ke kalian. Well, dikondisi terhimpit gini kalian tetap masih merasa nyaman ngejalaninnya, ya memang ndak ada yang salah kan yah? 

Memilih yang mana yang nyaman untuk kita & keluarga ini ya kita sendiri yang tau jawabannya. Kawan-kawan lah yang faham nyamannya itu gimana. Memang kalau dilihat bertentangan. Apa ada orang gitu yg kerjaannya banyak plus tuntutan family time tapi dianya masih tetap merasa nyaman? 

Well, the answer will go to the next premis then.

KEDUA. Ini yang sering terjadi. Kita sadar atau ndak sadar mencoba define nyamannya orang lain sama dengan nyamannya kita. Ini yang sejatinya ndak boleh, guys. Kalau ini terjadi, ini kitanya yang goblok. Ndak sama. Ndak akan pernah sama orang lain dengan kita. Please ini jangan dilakukan.

Misalnya, kita ngelihat kondisi temen kita dipremis satu di atas. Gimana kalau kondisinya memang orangnya yang mau kerja keras, atau memang ‘kerja adalah hobby’ sebagai nama tengahnya. Terus kita merasa kasihan dan bilang dia ndak nyaman? Hufht, ini yang salah kenapa ketika kita nge-define ‘nyaman’ nya dia itu sama dengan nyamannya kita. 

Di premis ini kesimpulannya cuma satu aja, nyaman itu dirasakan pribadi masing-masing, ndak sama tiap orang. 

KETIGA. Nyaman itu ada yang bilang identical dengan bahagia. Ya iyalah, dimana sih kalian njumpain orang yang gelisah ndak tenang ndak nyaman itu bisa bahagia. Menurut saya, kalimat ‘nyaman‘ dan ‘bahagia‘ itu selalu segendang sepenarian, gais. Bergandengan tangan seiring sejalan. Saya pribadi ndak ngelihat majas pertentangan disana.

KEEMPAT. Menurut saya, kita harus menghilangkan dikotomi kata ‘nyaman’ itu ke arah negatif. Ini agak keliru menurut saya. Harusnya dibawa ke kata yang netral saja apa adanya. 
Nyaman ini kalau saya fikir sama nasibnya dengan kata ‘emosi‘ yang mana ditendensikan ndak baik. Padahal guys, kita senang, kita sebel, kita takut, kita bahagia tiada tara sampai norak-norak bergembira itu juga ’emosi’ namanya. 

Malah menurut wikipedia, emosi ini sebenernya diambil dari bahasa latin ’emotion’ atau ’emouvoir’ yang artinya ‘kegembiraan’. Dan dinegara kita ini malah kecenderungannya ngerucut ke kata ‘marah’. Absurd memang kita tuh.

Okeh guys..

Sampai sini, semoga semuanya faham dengan 4 premis di atas. Dan kenapa saya coba meluruskan pemahaman kata ‘nyaman’ yang malah ditakuti dilingkungan pekerjaan.

___ Last, nyaman itu pilihan

Ah, last words.. Ini supaya fair gess. Selalu ada 2 sisi mata uang ngelihatnya.
Walau saya ndak gitu setuju kondisi nyaman dibawa ke negatif, akan tetapi disatu sisi lainnya SAYA SETUJU sama beberapa orang. Nyaman memang terkadang jadi jebakan, buat kita ndak berani melakukan apa-apa. Khawatir untuk #BergerakMaju. Karena nyaman kita jadi do nothing ndak berani ambil resiko.

Akan tetapi kalau kondisinya kayak gini, dare to do something or do nothing, menurut saya jatuhnya ke “pilihan” bukan “kenyamanan”. Dan, kalau memang itu jatuhnya ke “pilihan” berarti ndak ada yang salah dengan nyaman.

Itu aja duhai sepakaters. Like always, terimakasih sudah membaca sampai bawah sini.. ^_^


Abdi J. Putra — ABIE
*Salam kompak selalu buat kalian semua..
*Iya, kalian. Kalian yang selalu ceria dan gegas menyongsong antusias pagi.

At work · Experiences

PRINSIP 20/80 UNTUK HIDUPMU

Saya yakin semua sudah tahu ceritanya. Ya, ini cerita lama. Alkisah.. (halah, kok kayak jadi mendongeng aku tuh) Ada seorang ekonom berkebangsaan Italia, sebut saja namanya “Vilfredo Pareto”.

Nah, si Vilfredo ini membuat study yang menyebutkan angka “80_hasil” biasanya didapatkan dari “20_aksi”. Artinya sederhana. Dari 100, biasanya kalau diperhatikan hanya 20% saja yang membuat impact ke 80% hasilnya. Beberapa model dipelajari Tn. Vilfredo dan hasilnya kurang lebih sama. Skalanya dibuat berapapun hasilnya tetap berkisar di 20:80.

Iya, udah ketebak. Ini cerita tentang prinsip 20/80 yang hari ini kita kenal dengan sebutan Pareto’s Law atau Hukum Pareto. Sebagian bilangnya Pareto’s Principal.

Btw, ini ceritanya agak panjang. Kalau mau leave ndak papa, it won’t ruin your happiness. Pun, kalau mau ngotot baca ya monggo.. 🙏😍

_ Pareto’s Principal as we know it

Kita juga faham Prinsip Pareto sampai hari ini sangat terkenal disemua bidang. Kebanyakan digunakan untuk mengukur potensi di lini business management. Apapun bisnisnya.

Penerapan sederhananya, yang sering kita baca atau kita denger, kayak gini: 20% pelanggan biasanya menghasilkan 80% pendapatan perusahaan. Ini mungkin sebelas atau duabelas kali kita dengar, hehe sangking seringnya.

Atau lagi misalnya…

Ini yang paling sering banget diceritakan orang, yang saya fikir memang menarik untuk diceritakan, kayak gini: Dari semua kekayaan didunia ini, jika dikumpulkan dan didata jadi satu, ternyata hanya dimiliki hanya kurang dari 20% orang saja. Begitu kata Pareto sang sosiolog. Bahkan lebih kecil lagi. Sound familiar, huh?

Saya jadi ngebayangin itu the goofy face sang founder Amazon, Tn. Jeff Bezos. Orang kaya nomer satu sak jagad yang punya kekayaan 2.158T. Nyang mana kekayaanya itu bahkan 50 kali PAD kota Jakarta setahun (katadata, 2017). Phew, banyak amir yah.

Kalau mau ngebayangin, ini jumlahnya dua kali uang yang ditebarkan “The Professor” diatas kota Madrid pakai balon udara, La Casa de Papel. Jumlah yang sangat banyak dan cukup untuk memulai perang, membuat super duper chaos minimalnya (ya, ya, bella ciao, bella ciao, ciao.. hehe).

Ah, tapi ndak usah sejauh itu. Intinya sih, yes ini ngegambar kenapa teori sosial Pareto itu secara logika kayaknya benar menurut saya. Belum pernah ngitung sih saya. Ndak mampu tepatnya.

Dan ya, masih banyak contoh prinsip pareto ini untuk SKALA EKONOMI & BISNIS. Karena memang itu praktiknya selaras dengan produktifitas, efisiensi, dan efektifitas. Yah, apapunlah itu. You guys, name it lah.

_ then, apakah ceritanya berhenti disini?

Nope, tentu saja tidak. Bukan itu sebenernya inti dari tulisan ini, guys. Minimalnya, sampai sini kita ngerti gambaran hukum pareto itu gimana.

Terus, supaya lebih menarik, bagaimana kalau statement pareto (20/80) itu kita pakai untuk kehidupan kita.

……….
Yes. Gimana sih jadinya kalau HUKUM PARETO ini KITA TERAPKAN dikehidupan kita sehari-hari?
……….

Soalnya hukum pareto ini biasanya dipakai empiris nge-define lanskap business seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Nah, coba sekarang kita arahkan ke kita sendiri. Hehe ini jadinya menarik. Trust me.

Supaya nginjek bumi, coba saya gambarkan praktik 80/20 ini untuk kehidupan sehari-hari. Saya punya beberapa yang kefikiran. And, please janji gosah baper, ini cuman contoh yah.. ✌️😁

Saya coba mulai dengan ini..
*Pertanyaan pemanasan..

— Well, pernah ndak kefikiran, apa aja sih dari 20% yang kita lakukan selama ini dan yang memberikan 80% kebahagiaan untuk kita?

— Aktifitas apa aja sih dari 20% list pekerjaan kita, yang impactnya 80%, guys?

Okeh, sampai sini harusnya udah ngena..
*Kita lanjut misalnya berikut..

— Pernah ndak kefikiran values apa aja sih dari 20% kemampuan kita yang bisa dipakai untuk menunjang 80% get done tantangan hidup dan pekerjaan kita?

— Siapa saja sih dari 20% teman kita yang beneran membantu 80% dengan tulus? Bukan didepan bersahabat tapi dibelakang kayak ular matuk dan kita ndak tau dikhianati hehe.

— Terus, Kegiatan apa aja sih dari 20% waktu kita yang memberi kita 80% lebih punya passion dan lebih bersemangat? Ini harus dimengerti jawabannya, soalnya penting menurut saya.

Hehe, menarik kan yah..
*Coba pertanyaan yang agak-agak nakal..

— Untuk yang bekerja. Apa-apa aja sih 20% yang kita lakukan dipandang 80% nya sama environment dan atasan kita? Jangan-jangan semua yang kita lakukan ndak dapet kredit dari environment dan atasan kita. Gak heran juga, ketika dipanggil assessment jatuhnya jadi “pengiring pengantin”. Penggembira doank.

— Selama 8 jam kerja kita, mana sih 20% yang bener-bener kita itu kerja? Terus 80% nya ngapain coba? Well, jangan-jangan kita ndak beneran kerja. Kejebak sama “ngerasa” kerja. Perasaan sedang kerja tapi sebenernya do nothing kajol. Useless seharian ndak ada kontribusi ternyata. #RethinkAgain haha.. *ngenes

— Sudah pernah mengkonsider ndak yah, mana sih 20% ucapan kita yang bener-bener bagus dan berisi. Sisanya 80% lisan kita jangan-jangan sampah. Ndak worth it didenger atau uhm well yeah, bacot only. Kebanyakan cocot kayak saya haha.

And again..
*Coba kita lanjutin..

— Kalau kawan-kawan punya team, kebayang kan yah mana aja person yang 20% sangat teramat bisa diandalkan dan mana yang statusnya B-aja. Atau jangan-jangan 80% nya beneran becak (lemah) semua. Ini wadidaw sih.

— Sebagai leaders, pernah ndak ngereview mana sih 20% arahan kita ke team yang efektif, dan mana sih arahan kita yang 80% ngawang ndak jelas. Haha, parahnya ternyata gadak arahan kita yang bisa difahami team. Ini kita atasannya yang kampret namanya. Padahal terkait arahan berlaku GIGO. Kalau “Garbage yang In”, ya jelas “Garbage yang Out-lah”. Yang jadi teamnya kalian ini wajib punya kesabaran tingkat dewa wkwkwk..

Okeh, dah mulai memanas kayaknya.
*Coba saya kasih contoh lagi, dan ini yang mungkin lebih real..

— Dari semua baju dilemari kita, mana sih yang 20% sering kita pakai, sisanya 80% itu sebenernya ndak guna kali yah soalnya jarang disentuh. Bisa jadi kita beli karena ikut-ikutan trend aja, but tbh ternyata kita ndak gitu suka makainya. Haha, what-a-pity, betapa kita boros tudemaks, beli hal yang ndak diperlukan. Nasehatnya padahal jelas banget: Muka boleh boros, tapi harusnya pengeluaran ya jangan.

— Atau misalnya lagi yang harus dikonsider, apa aja sih dari 20% pengeluaran kita yang memberikan 80% manfaat untuk kita dan keluarga? Well, for this question you have the answer, rite.

See my points, gess..

Kenapa prinsip pareto yang ditujukan ke diri kita sendiri ini untuk saya jadi nge-geser pemahaman saya. Ya, ya, ndak usah saya dinyinyiri sih. Hehe, soalnya ini ngasih pandangan aja, ndak harus jadi pegangan absolut. Lagian percentagenya mungkin bukan 20/80, bisa jadi 15/85 atau 23/77. Ya, sekitar segitulah.

_ Well, last words from me

Kadang prinsip 20/80 ini ngelus ego dan juga nabrak pemahaman saya. Agak buat males tapi setelah difikir ini benar adanya. Sontoloyo memang. Selama ini ndak nyadar.

Kalau harapannya sih minimal bisa faham mana yang bermanfaat sehingga jadi lebih efektif, dan nantinya semoga jadi lebih produktif. Ndak hanya terkait pekerjaan saja tapi juga terkait tentang hidup. Ya, semoga aja sih. Kadang berhenti difaham saja ndak cukup.

Sekali lagi. “It’s not necessarily a rigid rule to live by, but think of it as a tool, a lens to view aspects of your life through”. Nah, silahkan sharing 20/80 pareto’s principle yang kebayang kawan-kawan. Apapun yang kefikiran silahkan dikomentari.

Terimakasih yah gess, dah repot-repot baca sampai bawah sini. Niat banget kalian ini hehe.. 🙏😊

Salam hormat,

Abdi J Putra — ABIE
*hey, filing gud, laik-a-shud..
*see my IG here: @abepoetra

books · buku · Hobby

Grant Snider: I Will Judge You by Your Bookshelf

I actually forgot, that I have pre-ordered this book a month before. And Last week, 14 Apr 2020 it is ready on my kindle bookshelf.

Agree, as it says in the heading – so perceptive, so true, & funny.

Don’t get me wrong, sometimes, he sketched the ideas looks serious. See my points, when he talks bout poem. Hehe, but I love the way “Grant Snider” introduce new words (poems). He will go dive, go deeper, be wild, be bold, to understand the circumstances built words by words. ✌️☺️

This book is worth reading. Bacaan bagus, beli supaya faham kenapa saya bilang bagus hehe..

See my ig here: @abepoetra
https://www.slideshare.net/mobile/abepoetra

books · buku

BlitzScaling: Jumping Off A Clip

Well guys. Bukan ndak punya strategi sih, tapi sering sekali as leaders kita dihadapkan pilihan untuk melakukan hal berikut (see picts):

— Harus melompat dari tebing
— Merangkai pesawat
— Sambil meluncur ke bawah

Some of us, bilang ini namanya quick win, tapi kalau Reid Hoffman (Founder Linkedin) bilang ini “Blitzscaling”. Normal yang baru.

Dimana kondisi di atas itu adalah “Blitz” yang artinya “A Sudden, all out effort”. Dan “Scalling” maksudnya “Improving the ability to handle growth”. What a nice thought. Yang penting terjun aja dulu, apakah pesawatnya jadi atau tidak itu yang butuh “kecepatan dalam berfikir utk bertindak”.

Analoginya bisa juga kayak gini: “Mobil diwajibkan lari kencang, sewaktu wajib ganti ban, gak boleh mengurangi kecepatan sedikitpun”. Harus tetap dikondisi kecepatan yang sama, sembari masang ban.

Hehe, pasti ndak asing kondisinya ini, dengan kondisi semua resources yang minim wajib achieve target. Dengan segala keterbatasan hasil kudu maksimal.

Ini deskrispsinya dan kondisinya lengkap dijabarkan di buku BlitzScalling yang ditulis oleh “Reid Hoffman” dan “Chris Yeh”.

Yah begitulah..

Ada yang sedang lompat tebing sambil ngerangkai pesawat? Hehe, kayaknya wajib baca bukunya dulu, supaya bisa survive, minimalnya supaya ndak konyol.

ABIE
IG – @abepoetra
https://www.slideshare.net/abepoetra

Hormat Saya,

Sharing

Book Review: The Road to Character

A friend of mine, Raden Sugi Giarta Koswara, told me that his father recommended “The Road to Character”. I agree with him, yeah rite, this book worth a read.

About this book..

I hi-lited what David Brooks emphasized. He said that “Character” means knowing ourselves and remaining loyal to our nobler aspirations despite those flaws. See, how inspiring. ☺️

And then, love ‘bout humility things, that play the big roles. Brooks also define the general propositions that form this Humility Code (cekidot guys):

  1. We don’t live for happiness, we live for holiness.
  2. Proposition one defines the goal of life.
  3. Although we are flawed creatures, we are also splendidly endowed.
  4. In the struggle against your own weakness, humility is the greatest virtue.
  5. Pride is the central vice.
  6. Once the necessities for survival are satisfied, the struggle against sin and for virtue is the central drama of life.
  7. Character is built in the course of your inner confrontation.
  8. The things that lead us astray are short term—lust, fear, vanity, gluttony.
  9. No person can achieve self-mastery on his or her own.
  10. We are all ultimately saved by grace. The struggle against weakness often has a U shape.
  11. Defeating weakness often means quieting the self.
  12. Wisdom starts with epistemological modesty.
  13. No good life is possible unless it is organized around a vocation.
  14. The best leader tries to lead along the grain of human nature rather than go against it.
  15. The person who successfully struggles against weakness and sin may or may not become rich and famous, but that person will become mature.

Again. The book begins and opens with lovely analysis on the subject of character. And Brooks tell us how to describe yourself. Excellent deep dive into what makes a great character.

For me, this book is really insightful. Mini-biographies of historical figures who make you think twice about the choices we make, the values we hold and the legacy we leave. How about Adam1 and Adam2, guys? ☺️

Yes, you’ll soon understand how to find your (true) self again. Begin from the beginning, hehe, interesting.

Well, have a nice finding-days and happy reading everyone!

— ABIE, tetanggamu yang ramah!

Sharing

Review Buku: The Visual MBA – Jason Barron

Sederhananya gini, buku THE VISUAL MBA ini dibuat JASON BARRON seperti judulnya: visual banget penuh gambar berwarna.

… colorful sketchnofe

Untuk golongan visual learners (65% from population) baca buku ini akan betah. Sekali kepegang pasti baca terus sampai habis. Menjelaskan terminologi penting dan rumit di-level MBA dengan bahasa & design visual yang rapi.

Sketchnote nya colorful guys. Walaupun yang dibahas lumayan berat tapi jadinya crispy. Renyah, garing, dan juga ringan.

Hemat bahasa, Tn. Jason Barron langsung ke contoh praktikal jualan minuman soda limun, tapi tetap clear banget penjelasannya ndak keluar dari esensinya. Malah dibantu diagram yang kekinian juga untuk menguatkan pesannya.

Kebayang guys. Penjelasannya nge-cover “corporate financial planning”, “managerial accounting”, terus ada “business ethics”, sampai the favourite one “startup marketing essentials” didoodle sama Tn. Jason Barron.

… this book is easy

Menurut saya lagi, ndak hanya para jajaran senior management dikantoran yang disarankan untuk baca buku ini, akan tetapi layak baca juga untuk “teenager kuliahan” yang seringnya ngedumel kalau baca buku tebal kurang tebal. 😆

Well, this book is easy to read-lah. It come up with 208 pages only. See my points: banyak gambar, berwarna, dan ya ngeringkas semua point penting yang minimalnya semua disiplin ilmu wajib faham. Wajib baca lho ini, gess!

… and last

Belakangan banyak buku yang visual dituliskan. Hemat waktu dan readibility-nya tinggi. Remember, Rio Dalio. Bukunya yang saya sharing kemarin, itu juga visual book. A simple read Dan provokatif.

Teros guys, ngelihat sketchnote Jason Barron ini saya jadi teringet Rifki Sya’bani, a friend of mine, yang selalu menjelaskan (sharing) yang difahaminya dengan menggambarkannya.

Sama-sama dahsyat sketchnote-nya mereka berdua. Jason & Rifky, mereka imbanglah yah visualnya.

… SALUT

Saya selalu respect untuk semua orang yang mampu ngebuat sketchnote, guys. Soalnya ndak gampang menggambar sekaligus menuangkan ide. Orang-orang pilihan mereka itu semua. 🙏☺️

Respect,

ABIE — My IG: @abepoetra
*Let’s dance in the rain, everyone!

books · buku

Principles For Success – Ray Dalio

PRINCIPLES FOR SUCCESS


(An entertaining, illustrated format for readers of all ages)

Well, it will cost you 593 pages (lebih panjang dari Short of Mentor, Timothy Ferriss). Ambyar memang. Walau, sumpah, itu buku Ray Dalio worth a read-lah guys. Bagus.

Yeah rite, yg nge-fans sama Ray Dalio ndak perlu ngos-ngosan baca bukunya yang satu lagi. “Principles: Life & Work”.

Okeh back again.

Bukuini, “Principles for success”, yg baru desember kemarin terbit, sengaja didesign dengan image disetiap halaman, semuanya full color. Sehingga secara visual kita akan mudah memahami pengalaman dan prinsipnya Tn. Dalio yang dituliskan.

Menurut saya buku ini cakep.
Pakai ngets, duhai kisanak.

Well, tapi.. You guys yang sudah baca ratusan halaman buku yang terbit sebelumnya akan kecewa dan ngerasa kok ini buku ini kayak nggantung. Kentang.

Sama kayak kipas angin (fans-nya) Tn. Dalio lainnya, walau pribadi ndak kecewa saya juga merasa ini nanggung. ✌️😆

Uhm, cobalah bandingkan. Harusnya ada 3 prinsip dan pengalaman beluau yang bisa diceritakan dengan imaji bagus:

— 5 Prinsip terkait kehidupan
— 16 Prinsip terkait pekerjaan
— 5 Langkah untuk sebuah proses

Nah, buku dengan ilustrasi cakep ini hanya menceritakan poin ketiga saja, terkait 5 langkah untuk sebuah proses (5-steps process) yang selalu jadi pegangan Ray Dalio. Prinsip tentang hidup dan 16 prinsip kehidupan hanya sekilas diceritakan.

Mungkin, ini hanya mungkin. Ray Dalio bermaksud buat buku ilustrasi ini untuk ngasih pemanasan ke pembaca yang lebih suka membaca dengan banyak gambar.

Sehingga makin lebar marketnya untuk beliau bisa berbagi. You know, berbagi adalah salah satu tujuan orang mapan kayak dia.

Gitu sih kayaknya guys.. 🙏😍

Tabik,
ABIE — the man who sold the world

books · buku

Review Books: Together is Better – Simon Sinek

Guys,

Menurut saya ada 8 pelajaran mendalam dari buku TOGETHER IS BETTER punya Simon Sinek ini. Cekidot.

1# Leaders give us the chance to try & fail, then give us another chance to try & succeed.

2# Fight against something and we focus on the thing we hate. Fight for something and we focus on the thing we love.

3# Working hard for something we don’t care about is called stress. Working hard for something we love is called passion.

4# A star wants to see himself rise to the top. A leader wants to see those around him become stars.

5# A team is not a group of people that work together. A team is a group of people who trust each other.

6# It doesn’t matter when we start. It doesn’t matter where we start. All that matters is that we start.

7# The value of our lives ain’t determined by what we do for ourselves, but what we do for others.

8# Leadership is not about being in charge. Leadership is about taking care of those in your charge.

Itu beberapa contohnya guys. Masih banyak lagi pelajaran dan pemikiran yang bagus dibuku ini, guys.

Menurut saya ini buku rekomendasi banget guys. Dijamin akan kebaca, soalnya dominant di ilustrasinya.

And last, hey, this is Simon Sinek. Semua kalimatnya membius. WORTH A READ-lah.

Salam,

Abdi J. Putra — ABIE
*Ya, tonggomu sing ambyar, eh ramah 😄